Aceh Timur – Sejumlah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengeluhkan kebijakan perbankan yang dinilai menyulitkan akses pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Salah satu bentuk kesulitan tersebut adalah masih diberlakukannya syarat jaminan, meskipun pengajuan pinjaman bernilai di bawah Rp100 juta.
Padahal, sesuai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR, KUR dengan plafon maksimal Rp100 juta seharusnya tidak dipersyaratkan adanya agunan tambahan. Agunan pokok cukup berupa usaha atau proyek yang dibiayai KUR. Bahkan, untuk KUR Mikro dan Super Mikro, tidak diwajibkan adanya agunan tambahan maupun perikatan khusus.
Namun dalam praktik di lapangan, sejumlah bank masih meminta jaminan berupa sertifikat tanah atau rumah, meskipun nilai pinjaman hanya sebesar Rp20 juta. Hal ini tentu sangat memberatkan masyarakat kecil, khususnya pedagang kaki lima yang berharap dapat menambah modal untuk bertahan hidup dari hasil usahanya.
Hasil pemantauan dan evaluasi (monev) yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2023 menunjukkan bahwa dari 894 debitur KUR skema mikro dan super mikro, sebanyak 16% atau 144 orang dikenakan agunan tambahan untuk pinjaman KUR di bawah Rp100 juta.
Menanggapi hal ini, Ombudsman RI menyatakan bahwa persyaratan agunan untuk pinjaman KUR di bawah Rp100 juta tidak sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 1 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa agunan tambahan tidak diberlakukan bagi KUR dengan plafon pinjaman hingga Rp100 juta. “Ini jelas merupakan bentuk maladministrasi yang tidak seharusnya terjadi dalam pelayanan publik, terutama yang terkait dengan program pemerintah untuk mendukung UMKM,” kata Yeka Hendra Fatika dari Ombudsman RI.
Salah satu warga Aceh Timur Yunan Nasution menyampaikan keprihatinannya: “Saya lihat justru masyarakat kecil semakin sulit mengakses KUR. Ironisnya, penerima KUR itu-itu saja orangnya. Saya berharap DPRK Aceh Timur bisa turun tangan, minimal melakukan diskusi terbuka dengan pihak bank atau membentuk panitia khusus (pansus) untuk menginvestigasi pelaksanaan KUR yang dinilai tidak berpihak kepada pelaku UMKM.”
Program KUR sejatinya bertujuan untuk memperkuat permodalan UMKM dan membuka akses pembiayaan yang lebih inklusif. Jika perbankan justru menerapkan syarat-syarat di luar ketentuan, maka tujuan program ini dapat meleset jauh dari harapan.
Diharapkan adanya pengawasan yang lebih serius dari pihak legislatif dan regulator agar pelaksanaan KUR benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kecil, bukan hanya segelintir pihak tertentu.
{Pimred}