Aceh-Timur | Keresahan warga Desa Tampak, Kecamatan Rantau Peureulak, terhadap bau limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat Aceh Timur. Yunan Nasution, kepada media ini menegaskan bahwa bau busuk menyengat dari limbah pabrik tidak akan terjadi jika perusahaan menjalankan seluruh tahapan pengolahan secara baik dan benar.
“Saya menduga kuat bahwa perusahaan tidak menjalankan proses sesuai Perizinan Teknis (PERTEK). Bahkan, ada kemungkinan mereka belum mengantongi PERTEK pengolahan limbah,” tegas Yunan. Ia mendesak Dinas Lingkungan Hidup untuk segera mengkaji dan mengungkap fakta yang sebenarnya kepada publik.
Menurut Yunan, persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan limbah B3 yang menimbulkan bau, tetapi juga limbah non-B3. Limbah seperti cangkang seharusnya dimanfaatkan sebagai bahan bakar, sebagaimana tercantum dalam tabel matriks. Namun faktanya, perusahaan lebih memilih menjual sebagian besar limbah cangkang tersebut, yang jelas melanggar ketentuan perizinan dan kepatuhan terhadap pajak.
Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur pengelolaan limbah cangkang sawit. Dalam regulasi tersebut, limbah seperti Spent Bleaching Earth (SBE) tidak lagi dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), melainkan sebagai limbah non-B3 dengan kode limbah N108. Pemanfaatan limbah non-B3 sebagai bahan baku diizinkan, contohnya seperti fly ash dari PLTU yang digunakan sebagai pengganti semen pozzolan. Namun, pabrik kelapa sawit wajib memiliki izin sah untuk menjual limbah tersebut. Jika tidak, sanksi menanti.
Yunan juga menyoroti persoalan lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, perusahaan wajib memiliki kebun sendiri atau menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi minimal 20% kebutuhan bahan baku. PT Alam Sawit Indo disebut-sebut tidak memiliki kebun sendiri. Perubahan aturan melalui Permentan Nomor 21/PERMENTAN/KB.410/6/2017 tetap menekankan kewajiban pasokan bahan baku dari kebun sendiri dan kemitraan.
Pasal 11 menyebutkan bahwa industri pengolahan harus memenuhi minimal 20% pasokan dari kebun sendiri dan sisanya dari kemitraan berkelanjutan. Pasal 48 mengatur sanksi: jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka instansi berwenang akan memberikan tiga kali peringatan tertulis dalam waktu empat bulan. Jika tidak dipatuhi, pemerintah akan mencabut Izin Usaha Pengolahan (IUP-P) dan mengusulkan pembatalan hak atas tanah.
“Masalah bau limbah yang meresahkan warga ini muncul padahal perusahaan masih dalam masa percobaan. Saya harap aparat penegak hukum dan instansi terkait segera bertindak dan membentuk tim investigasi agar masyarakat tidak terus merasa cemas,” ujar Yunan. Ia menegaskan dukungannya terhadap keberadaan industri di Aceh Timur, tetapi juga mengingatkan bahwa semua perusahaan, termasuk PT Alam Sawit Indo, harus mematuhi aturan yang berlaku. {***}